Memahami Kekuatan Bahasa: Dari Hiperbola dalam Sastra Hingga ‘Batu Rosetta’ dalam Sains
Bahasa memiliki kekuatan luar biasa, tidak hanya sebagai alat komunikasi sehari-hari tetapi juga sebagai sarana untuk menciptakan dampak dramatis dan menjelaskan konsep yang kompleks. Dalam sastra, kita mengenal majas hiperbola yang menggunakan pernyataan berlebihan untuk menekankan emosi. Menariknya, kekuatan analogi bahasa kini juga merambah dunia sains, di mana sebuah kerangka kerja matematika baru dijuluki sebagai ‘Batu Rosetta’ karena kemampuannya “menerjemahkan” fenomena alam yang rumit.
Kekuatan Dramatis Majas Hiperbola
Majas hiperbola adalah gaya bahasa yang dikenal karena menggambarkan sesuatu secara berlebihan, seringkali hingga pada titik yang terasa tidak masuk akal atau sulit dinalar. Ciri utamanya adalah melebih-lebihkan fakta, menciptakan kesan yang jauh lebih besar dari kenyataan. Contohnya dapat ditemukan dalam kalimat sehari-hari seperti, “Ayah memeras keringat demi keluarga,” atau “Kejutan itu hampir membuatku terkena serangan jantung.”
Tujuan penggunaan bahasa yang berlebihan ini bukanlah untuk menipu, melainkan untuk memberikan penekanan. Karakteristiknya yang dramatis membuatnya sangat efektif dalam memengaruhi pembaca atau pendengar.
Fungsi Emosi dan Estetika dalam Bahasa
Menurut para ahli bahasa, fungsi utama hiperbola adalah untuk memberikan penekanan emosi dan menciptakan kesan dramatis. Dalam berbagai karya sastra, majas ini jamak digunakan untuk memperindah kalimat sekaligus menarik perhatian audiens. Dengan menyajikan gambaran yang dilebih-lebihkan, penulis dapat memicu respons emosional yang lebih kuat dari pembaca, seperti rasa sedih, marah, atau takjub, serta merangsang imajinasi mereka secara lebih efektif.
Analogi Bahasa dalam Penemuan Ilmiah
Sama seperti hiperbola yang melebih-lebihkan untuk memberi penekanan, ilmuwan sering menggunakan analogi yang kuat untuk menjelaskan konsep yang rumit. Baru-baru ini, para insinyur dari Penn (University of Pennsylvania) telah mengembangkan sebuah kerangka kerja matematika yang mereka juluki sebagai “Batu Rosetta” (Rosetta Stone) versi sains, merujuk pada batu kuno yang memungkinkan penerjemahan aksara hieroglif Mesir.
‘Batu Rosetta’ Matematika untuk Sistem Molekuler
Kerangka kerja yang disebut STIV (termodinamika stokastik dengan variabel internal) ini berfungsi sebagai “penerjemah” universal dalam fisika. STIV mampu menerjemahkan pergerakan atom dan molekuler pada skala mikro menjadi prediksi efek skala makro—seperti bagaimana protein dalam tubuh terlipat, bagaimana kristal terbentuk, atau bagaimana es mencair.
Penemuan ini dipandang signifikan karena berpotensi merevolusi cara perancangan obat-obatan, semikonduktor, dan material canggih lainnya. Dengan STIV, para ilmuwan dapat memperoleh pemahaman mendalam tanpa perlu bergantung pada simulasi komputer atau eksperimen laboratorium yang mahal dan memakan waktu lama.
Memecahkan Masalah Puluhan Tahun
Dalam sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di Journal of the Mechanics and Physics of Solids, para peneliti Penn berhasil menggunakan STIV untuk memecahkan masalah berusia 40 tahun dalam phase-field modeling. Model ini sangat penting untuk mempelajari batas tipis (frontier) antara dua keadaan materi, misalnya batas antara air dan es, atau antara bagian protein yang terlipat dan yang tidak.
Prashant Purohit, salah satu penulis studi tersebut, menjelaskan bahwa STIV menyediakan “mesin matematis” untuk menggambarkan evolusi batas tersebut langsung dari prinsip pertama, tanpa perlu lagi mencocokkan data dari hasil eksperimen.
Mekanisme Kerja dan Generalisasi Kerangka STIV
Celia Reina, penulis senior studi tersebut, menegaskan kekuatan analogi Batu Rosetta. “Sama seperti Batu Rosetta yang membuka kunci pemahaman teks kuno, kerangka STIV dapat menerjemahkan gerakan mikroskopis menjadi perilaku skala besar di seluruh sistem,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa kerangka kerja ini bahkan memungkinkan ilmuwan bekerja mundur: dimulai dari properti yang diinginkan, lalu mencari tahu gerakan molekuler apa yang dapat menciptakannya.
Travis Leadbetter, penulis pertama makalah tersebut, menjelaskan bahwa STIV bekerja dengan memperkenalkan ‘variabel internal’ untuk menangkap fitur sistem yang kompleks. Kuncinya, mirip dengan Batu Rosetta yang menyelaraskan teks, adalah memilih variabel yang tepat untuk memprediksi perilaku skala besar. Dalam makalah terkait di Journal of Non-Equilibrium Thermodynamics, tim ini berhasil menggeneralisasi kerangka kerja tersebut, menyajikan tiga metode yang membuatnya praktis dan universal untuk digunakan dalam hampir semua situasi.