Tarian Serimpi dan Martha Graham: Ketika Dua Dunia Seni Gerak Bertemu
Seni tari adalah bahasa universal yang melampaui batas budaya, namun setiap tradisi memiliki filosofi dan ekspresinya sendiri. Dari kelembutan tari istana di jantung budaya Jawa hingga pemberontakan gerak visceral di panggung modern Amerika, dua dunia seni—Tari Serimpi dan mahakarya Martha Graham—menawarkan pandangan unik tentang bagaimana tubuh manusia dapat bercerita.
Tari Serimpi: Keanggunan Sakral dari Istana Jawa
Tari Serimpi adalah sebuah tarian tradisional adiluhung yang lahir dari lingkungan keraton di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Berkembang sejak era Kerajaan Mataram Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung, tarian ini pada awalnya bersifat sakral dan eksklusif, hanya dipentaskan di dalam tembok istana. Gerakannya yang mengalir lembut dan gemulai mencerminkan karakter wanita Jawa yang anggun dan santun. Namun, di balik kelembutannya, Tari Serimpi juga menyimpan makna perlawanan simbolis terhadap kolonialisme pada masanya.
Sejarah politik Kerajaan Mataram turut membentuk evolusi tarian ini. Ketika kerajaan terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Tari Serimpi pun berkembang mengikuti corak masing-masing istana. Meskipun inti gerakannya tetap sama, muncul berbagai gaya yang khas. Gaya Surakarta melahirkan varian seperti Serimpi Anglir Mendhung dan Serimpi Sangupati, sementara gaya Yogyakarta terkenal dengan Serimpi Babul Layar dan Serimpi Dhempel. Kini, warisan budaya ini terus dilestarikan di empat pecahan keraton Mataram, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Struktur pementasan Tari Serimpi secara umum terbagi menjadi tiga babak utama:
-
Maju Gawang: Gerakan pembuka di mana para penari memasuki panggung dengan anggun, berjalan perlahan sebelum mengambil posisi sesuai pola lantai yang telah ditentukan.
-
Pokok: Ini adalah inti dari tarian, di mana para penari menyajikan narasi atau cerita utama. Properti seperti senjata dapat digunakan jika tema yang diangkat adalah peperangan, namun disampaikan dengan gerakan yang tetap estetis.
-
Mundur Gawang: Gerakan penutup yang mengakhiri pementasan, di mana para penari keluar dari panggung dengan gerakan yang sama anggunnya seperti saat mereka masuk.
Martha Graham: Revolusi Gerak dan Ekspresi Jiwa dari Barat
Satu abad yang lalu, di sebuah studio kecil di Manhattan, seorang penari bernama Martha Graham memulai sebuah revolusi yang akan mengubah wajah tari dunia selamanya. Di saat balet klasik mendominasi dengan gerakan yang melompat ringan ke angkasa, Graham justru mengakar kuat ke bumi. Ia menolak kekakuan balet dan mengembangkan teknik baru yang berpusat pada kontraksi tulang belakang dan kemiringan panggul—sebuah koneksi ke sumber kekuatan primal manusia.
Karyanya sangat modernis, tajam, dan sarat dengan muatan psikologis. Masha Maddux, seorang penari dari Martha Graham Dance Company, mendeskripsikan tekniknya sebagai sesuatu yang “terkendali, sangat dalam, visceral, teatrikal, dan memiliki gigitan tertentu.” Bagi para penarinya, menarikan teknik Graham terasa “membebaskan.” Prinsip utamanya ia dapatkan dari ayahnya, seorang psikiater, yang mengatakan, “Gerakan tidak pernah berbohong.”
Graham menjadi ibu baptis tari modern, dan studionya menjadi tempat lahirnya banyak seniman penting, mulai dari pelopor tari Merce Cunningham hingga ikon pop Madonna, yang pernah menjadi muridnya. Koreografinya sering kali terinspirasi oleh mitologi Yunani, sejarah, dan dunia batin manusia, dengan menonjolkan karakter-karakter wanita yang kuat. Karya-karya ikoniknya seperti Lamentation (1930), sebuah studi tentang duka, dan Errand Into the Maze (1947), yang terinspirasi dari mitos Minotaur, menunjukkan kedalaman emosi yang bisa diungkapkan melalui gerak tubuh.
Dua Filosofi dalam Satu Panggung Dunia
Meski datang dari dua kutub dunia yang berbeda, Tari Serimpi dan karya Martha Graham sama-sama merupakan bentuk ekspresi yang mendalam. Tari Serimpi berakar pada tradisi, kehalusan budi, dan narasi komunal istana, sementara Graham berfokus pada gejolak jiwa, emosi mentah, dan kekuatan individu. Di mana Tari Serimpi menggunakan kelembutan untuk menggambarkan kekuatan, Graham menggunakan kekuatan otot dan kontraksi untuk menunjukkan kerapuhan emosi.
Saat ini, warisan keduanya terus hidup. Tari Serimpi tetap menjadi pusaka budaya Indonesia yang dijaga kelestariannya. Sementara itu, menjelang perayaan seratus tahun perusahaan tarinya pada tahun 2026, karya-karya Martha Graham kembali mendapatkan sorotan di panggung-panggung dunia, termasuk di Inggris melalui pementasan oleh English National Ballet. Ini membuktikan bahwa baik keanggunan yang terkendali maupun ekspresi jiwa yang mentah memiliki tempat abadi di panggung global, menunjukkan kekayaan tak terbatas dari bahasa gerak tubuh manusia.








