Lifestyle

Warga Air Sugihan: Tanah Gambut Sumber Kehidupan

Desa Nusantara, salah satu wilayah masyarakat transmigrasi yang letaknya di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatra Selatan. Menuju Desa tersebut bisa ditempuh melalui jalur darat dan jalut air, tapi jalur darat masih sangat sulit untuk dilalui apalagi saat musim hujan karena faktor tanah gambut yang diguyur hujan, masyarakat biasa menggunakan jalur air, hanya butuh waktu sekitar 3 jam naik speedboad menuju desa tersebut dengan mengeluarkan biaya tarsnportasi sebesar 100 ribu rupiah.

Warga Desa Nusatara, transmigran asal Jawa yang datang pada masa pemerintahan orde baru tahun 1980-an. Mereka datang secara bertahap menuju Desa Nusantara. “Kami datang kesini tahun 80-an dengan modal bercocok tanam mengelolah lahan gambut, banyak halangan rintangan yang kami lalui disini, selama 15 tahun kami mengelola lahan gambut dan baru bisa mendapatkan hasil sesuai harapan,” jelas Rokhim selaku Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB).

Berbeda dengan desa lainnya, desa nusantara salah satu desa yang mempunyai lahan gambut yang luas dan belum tersentuh oleh perusahaan perkebunan sawit dikarenakan warga desa bergantung pada hasil tani, jika lahan diambil untuk menjadi lahan perkebunan sawit, maka mereka akan kembali hidup melarat, disamping itu bagi mereka merupakan salah satu pengerusakan lahan gambut secara perlahan-lahan.

Tahun 1985, adalah tahun dimulainya pembukaan lahan gambut menjadi lahan pertanian oleh warga setempat dan baru menikmati hasil makasimal tahun 2005, biasa masyarakat sebut lahan perjuangan. Namun, sekitar 1.200 hektar lahan gambut di Air Sugihan terancam menjadi perkebunan sawit oleh beberapa perusahaan yang menginginkan lahan tersebut.
“Kami tidak ingin persawahan ini diambil oleh pihak perusahaan. Tentunya mereka akan mendapatkan hasil yang besar” ucap salah seorang petani yang sedang terlihat menyemai benih padi di atas tanah gambut yang sudah digarap, dari raut wajahnya tergambar sangat partisipasi untuk memperjuangkan lahan pertanian desanya.

Masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit. Selain merusak lahan gambut, menyebabkan pula hilangnya persawahan mereka. Masyarakat Desa Nusantara juga sadar, lahan gambut lebih terjaga dengan pertanian dibandingkan perkebunan. Maka mereka berjuang bersama-sama mempertahankan lahan persawahan mereka dengan cara mendirikan Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB).

Petani bercocok tanam masih mengikuti musim, hanya bisa satu kali satu tahun. Selain itu karena lahan tersebut adalah lahan gambut yang memiliki pH (potensial hidrogen) asam yang sangat tinggi, itu juga siasat untuk mengurangi kadar keasaman air karena bulan 9-10 lahan kering dan kadar keasaman air menurun, itulah waktu yang cocok untuk bercocok tanam.

Lahan perjuangan adalah hasil kerja keras warga untuk lari dari kemiskinan. Selama 15 tahun mengolah lahan gambut yang luar biasa sulit dan akhirnya sukses merupakan hasil dari ketekunan dan semangat pantang menyerah untuk bertahan hidup. “Ini dulunya hutan belantara, kira-kira tinggi gambut atau rerumpatannya itu 50 cm, selutut!” cetus Sukar salah seorang warga desa.

Memandangi hamparan lahan yang begitu luas membentang, menyaksikan lahan hijau yang selama ini mampu menopang kehidupan warga desa Nusantara dan penyumbang produksi padi terbesar nomor dua di OKI. Dan di lahan ini pula, warga Nusantara selalu dibayangi rasa cemas dari tangan-tangan besi yang siap melumat ruang gerak para petani. Pihak perusahaan perkebunan sawit sudah lama mengincarnya, namun dengan kesadaran dan demi kemakmuran kehidupan mereka yang lebih baik dalam jangka waktu yang lama, mereka tetap berjuang mempertahankan tanah perjuangan mereka.
penulis: (yst)

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!