ArtikelOpini

Toxic Productivity: Tahu Batasan Sebelum Hilang Kewarasan

Setiap manusia pasti memiliki rasa untuk terus tumbuh dan berkembang. Di era yang serba maju dan kompetitif ini, tak heran banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi nomor satu di segala bidang. Kerja, kerja, kerja! Segala hal dilakukan untuk mencapai target, tujuan, serta ekspektasi yang dibebankan. Masyarakat mendewakan produktivitas dan sebagian dari mereka menjunjung peribahasa penghibur seperti “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” tetapi yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana jika dalam realitasnya peribahasa itu berubah menjadi “Bersakit-sakit dahulu, bersakit-sakit kemudian?”.

Sebenarnya, peribahasa di atas tidak dapat dikatakan salah karena ada kalanya kita harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mencapai apa yang kita inginkan sehingga kebahagiaan dapat diperoleh sesudahnya. Namun, dalam kenyataannya, lebih sering kita temui seseorang yang memaksa dirinya sendiri untuk memenuhi produktivitasnya dan mereka akan merasa bersalah jika mereka berhenti melakukannya. Pernahkah kamu melihat orang-orang seperti ini di kehidupanmu? atau mungkin kamu adalah salah-satunya?

Produktivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal (Herjanto, 2007). Lebih lanjut, produktivitas berdasarkan konsep akan menunjukan hubungan antara hasil kerja dengan suatu satuan waktu yang diperlukan untuk menciptakan produk dari seorang pekerja (Ravianto, 1985). Sedangkan untuk produktivitas yang berlebihan sampai mengganggu kehidupan sehari-hari disebut dengan racun produktivitas atau Toxic Productivity. Menurut psikolog klinis dari Hampshire, Dr. Julie Smith, Toxic Productivity adalah sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. Dalam kasus ini, pengidapnya cenderung candu dengan pekerjaan yang maksimal dan optimal. Mereka selalu merasa tidak enak jika pekerjaan tersebut terasa kurang atas standar yang mereka tetapkan. Di dalam kamus mereka, tidak akan pernah ada ruang untuk merasa cukup, rasa takut berlebih akan ketidaksempurnaan membuat mereka selalu merasa kurang.

Toxic Productivity bukanlah penyakit tetapi lahir dari kebudayaan kita yang senantiasa menjunjung tinggi nilai seseorang berdasarkan seberapa produktifnya kehidupan mereka. Bayangkan bagaimana kita seringkali terpesona dengan seseorang yang begadang demi mengerjakan semua tugas-tugasnya, membayangkan bagaimana kita terdorong untuk harus melakukan semua hal dan menjadi lebih baik daripada orang lain karena menyadari bahwa insecure mulai menggerogoti kita, serta membayangkan masa depan cerah sambil menikmati teh hangat di masa tua. Kebudayaan seperti ini tentunya tidak salah, lantas yang membuatnya ‘beracun’ itu apa sih? Jawabannya karena ini dilakukan berlebihan di atas segalanya. Seseorang dapat mengesampingkan kebutuhan pokoknya seperti mengabaikan makan, minum, mandi, tidur, bermain, menikmati hobinya, dan lain-lain hanya karena ia merasa tidak cukup puas atas pekerjaan yang dilakukannya. Tanggung jawab telah usai dilaksanakan, lantas apa yang sebenarnya dikejar oleh pengidap Toxic Productivity? Mereka mengejar kesempurnaan dan validasi semua orang, ini tidak sehat juga membahayakan kesehatan jiwa. Perlu diingat bahwa tingkat produktivitas seseorang punya level yang berbeda-beda, manajemen waktu untuk mengurus semua kegiatan adalah hal terpenting. Jangan melestarikan dan menormalisasikan Toxic Productivity sebagai sesuatu yang ‘luar biasa’ di kalangan anak muda. Pengaruh lingkungan yang tidak sehat serta perasaan negatif dari diri sendiri dapat menimbulkan Toxic Productivity.

Sedari dulu, produktivitas memang segalanya, ia menjadi tiang kebermanfaatan dalam hidup. Namun, jika ditelaah, apakah kita diajarkan untuk beristirahat dengan baik dan benar? Apakah kita diajarkan untuk mengatur kegiatan kita agar tidak mengganggu kegiatan yang lain? Apakah kita diajarkan tentang potensi kegagalan dan porsi tanggung jawab yang kita terima? Rasanya tidak. Semua pertanyaan itu terdengar menyakitkan, selain menghargai keberhasilan, saya percaya kita juga harus menghargai kegagalan. Mengajarkan kepada anak-anak kita kelak bahwa usaha bisa saja mengkhianati hasil, peluang kegagalan selalu ada tetapi mereka tetap harus optimis menghadapinya. Belajar dari kegagalan menumbuhkan pengembangan karakter menjadi jauh lebih baik tanpa harus melakukan pekerjaan secara berlebihan. Tidakkah lucu jika mengorbankan masa depanmu dengan kewarasan yang kamu punya?

Kebahagiaan sejatinya dapat timbul dari hal-hal kecil di sekitar kita atau setidaknya kita lah yang menjadi pelopor kebahagiaan bagi diri sendiri. Toxic productivity ibarat racun yang terus menerus membuat kita merasa tidak bersyukur. Layaknya piramida Maslow, validasi dari orang lain memang menjadi kebutuhan tertinggi manusia tetapi sampai kapan kepuasanmu akan berakhir jika yang kamu kejar bukan hasil capaianmu melainkan penilaian orang lain yang tiada batasnya. Toxic productivity bisa dialami oleh siapa saja dan kapan saja, termasuk mahasiswa. Kalau dulu kita pernah dengar anak kelas 6 SD belajar UTBK lantas disebut dengan apa diri kita yang berbangga hati mengadakan rapat hingga tengah malam, menyiksa diri sendiri dengan rangkaian pekerjaan yang tidak kita sukai, memaksakan citra diri kepada khalayak untu menjadi yang paling bagus, dan lain-lain.

Terlepas dari itu, Toxic Productivity dapat dikurangi dengan melakukan hal-hal semacam belajar untuk mengistirahatkan diri, menciptakan target yang realistis dan sesuai dengan kemampuan, bermediasi untuk menghilangkan kepenatan pikiran, melakukan mindfulness practice, dan mengatur batasan atau personal boundaries secara perlahan. Dengan mengurangi Toxic Productivity, hidup akan jauh lebih menyenangkan, menikmati setiap masanya dengan melakukan kegiatan bermanfaat dan tak lupa untuk menghibur diri di kala gundah menyerang. Belajar menetapkan target yang idealis juga realistis yang seimbang meskipun terdengar sulit. Membahagiakan diri tidak harus nanti, kalau bisa bahagia sekarang dan nanti kenapa tidak? Jika kebahagiaan tak kunjung datang, buatlah kebahagiaanmu sendiri.

Penulis: Adinda Putri Maharani

Editor  : Hastuti Purba

Sumber Foto :  giraffalope.com

Facebook Comments
Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!