Artikel

“Pak Kyai” Cukup Jadi Teladan Saya Dalam Menyikapi Kekuasaan

  1. 23 Juli 2000, aku tak ingat saat itu aku ada dimana, mungkin masih main tanah di lapangan samping rumahku. Saat itu aku masih belum ingat apapun, aku bahkan tidak tahu kalau di hari itu, ada sebuah kejadian yang akan sangat menyentuh untukku di masa yang akan datang. Tentu ketika aku membacanya di masa depan, semua sudah menjadi sejarah di masa lalu.

Di hari itu, sejak siang situasi negara memanas akibat Presiden pada masa itu membubarkan DPR. Dan di hari ini banyak selentingan-selentingan semacam, “Kalau gedung DPR di bom siapa yang selamat? Ya yang selamat 250 juta rakyat Indonesia dong!” Selentingan yang lahir dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap parlemen yang sangat dimaklumi, dan Presiden itu berani-beraninya membubarkan lembaga tersebut.

Satu hari di acara talkshow, bertahun setelah kejadian tersebut. Andy Noya bertanya padanya, “Kalau mau membunuh tikus kan tidak perlu membakar lumbung?”

Dengan cengingisan khasnya ia menjawab, “Lho orang tikusnya sudah menguasai lumbung kok, hehehe,” jawabnya disambut gelak tawa penonton.

Namun langkah “gila”-nya itu ternyata membawa situasi negara menjadi genting dan memicu ketegangan antara elit negara, desas-desus pun muncul. Malam itu Presiden akan dilengserkan oleh parlemen yang sudah ia bubarkan. Gedung parlemen dijaga pasukan bersenjata, dan calon baru yang akan menjadi presiden selanjutnya pun ikut duduk manis di ruang rapat parlemen, tanpa kehadiran sang presiden saat itu.

Kemana sang presiden saat itu? Ia ada di Istana Negara, bersama anak, istri dan orang-orang terdekatnya. Istana yang saat itu terbuka untuk umum atas kebijakan sang presiden pun penuh sesak dengan orang-orang berpakaian serba putih, yang datang dari seluruh penjuru Jakarta, dan desas-desus juga akan datang 3 juta orang lagi dari Jawa Timur, negara saat itu benar-benar memanas, salah sedikit saja perang saudara bisa pecah di Jakarta.

Sementara itu parlemen mengetuk palu, saat itu juga secara hukum Presiden telah dilengserkan, dan diangkatlah Presiden baru di malam itu juga, situasi semakin memanas. Tentara siaga di segenap penjuru Jakarta, seluruh mata di malam hari yang seharusnya tenang itu, mendadak harus dihadapkan pada eskalasi Ibukota yang sedang meningkat.

Membayangkan saat itu, saya jadi membandingkan dengan masa sekarang, membandingkan negara kita dengan negara-negara timur tengah, dimana kekuasaan dan politik saling jegal menimbulkan konflik, menyebabkan jutaan orang terpaksa mengungsi keluar dari negaranya. Apakah suasana saat itu mungkin membawa Indonesia seperti itu? Bukan tidak mungkin.

Di depan Istana, masa berkerumun semakin banyak, ratusan ribu orang kabarnya memadati halaman hingga ke Medan Merdeka, menunggu instruksi dari Presiden yang juga adalah seorang Kyai dan Pimpinan pondok pesantren. Dia adalah Gus Dur, presiden ke 4 Republik Indonesia, cucu dari KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama dan pencetus resolusi jihad Fardlu A’in melawan penjajahan Belanda.

Dini hari sekitar jam 1 malam, udara semakin menusuk, dan setelah berbincang dengan orang-orang terdekatnya, tampak kerumunan keluar dari Istana, orang-orang terdekat Gus Dur, Paspamres, tokoh-tokoh politik semuanya berpakaian rapi, dan Gus Dur menyusul dipapah oleh beberapa orang, hanya mengenakan baju tidur dan celana pendek, melambai kepada pendukungnya yang berkerumun di Istana.

Banyak yang menganggap itu sebagai tindakan memalukan, seorang Presiden yang mempermalukan diri sendiri. Namun di studio yang sama, tempat Andy Noya bercengkerama denganya, Gusdur mengemukakan alasanya.

“Saya (berpakaian seperti itu) biar ga dianggap Presiden, biar orang-orang hatinya dingin dan ga jadi marah, daripada bangsa ini pecah dalam pertempuran, darah mengalir, mendingan saya lengser aja deh, tetap kebenaran kita pertahankan namun jangan sampai bangsa ini perang saudara.”

Saya tersentak mendengar pernyataan tersebut, sebuah pernyataan yang baru sempat di klarifikasi bertahun-tahun kemudian, disaat banyak pejabat di hari ini berlomba pencitraan dan memperbaiki namanya yang bobrok, Gus Dur justru merelakan nama baiknya di injak-injak demi keutuhan negara.

Membandingkan kembali dengan kejadian yang menimpa negara lain, kita harusnya berkaca pada diri kita sendiri, bahwa dibalik semua ambisi kita terhadap negara, Gus Dur telah memberi teladan yang sangat baik dalam menyikapi sebuah amanah.

Saya ingat salah satu kutipan yang berbunyi, “Jangan mati-matian mengejar sesuatu yang tidak dibawa mati,” dari Cak Nun, salah satu murid Gus Dur.

Di saat semua Pejabat berlomba merebut tampuk kekuasaan, Politikus berlomba saling sikut demi jabatan. Kisah Gus Dur di atas adalah sebuah oase kebijaksanaan dalam merawat bangsa. Semoga menjadi pengingat untuk kita bahwa jabatan dan kekuasaan hanyalah sebuah ilusi, yang abadi hanyalah Allah SWT.

Penulis : Piky Herdiansyah
Editor : Nurma Afrinda Prandansari

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!