Opini

Minimnya Perhatian akan Beragam Kebutuhan Tempat Ibadah di Kampus

Tempat beribadah yang aman dan nyaman tentunya menjadi keinginan terbesar bagi setiap pemeluk agama di manapun berada, terlebih di dalam kampus yang kerap kali disebut miniatur negara oleh kalangan pejabat kampus, dosen, maupun mahasiswa. Sehingga, sudah semestinya nilai kebhinnekaan perlu diterapkan guna mengurangi rasa perbedaan yang tiada hentinya membentang bak tembok penghalang.

Diselenggarakannya pendidikan agama sebagai mata kuliah wajib dan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) merupakan langkah yang cukup konkret dalam penerapan kebhinekaan di kampus. Akan tetapi, sejauh yang penulis cermati, hanya dengan mengandalkan hal tersebut tidak serta-merta menciptakan keberagaman. Melainkan, mata kuliah tersebut lebih cenderung kepada peningkatan keimanan pribadi. Sedangkan dalam melihat perbedaan, mahasiswa masih buta.

Sementara itu, sarana penunjang belajar mengajar bagi mahasiswa beragama selain Islam di Universitas Sriwijaya (Unsri) baru tersedia sejak tahun 2013. Di mana sebelumnya, mahasiswa yang hendak belajar ilmu agama bukanlah di kampus, melainkan di luar dengan orang yang direkomendasikan oleh Unsri. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam hal pendidikan saja, perhatian yang diberikan masih kurang.

Mengenai tempat ibadah, Unsri merupakan salah satu contoh dari kebanyakan kampus di Indonesia yang di dalamnya mudah ditemukan masjid. Sampai dengan musala sekalipun dapat dijumpai di seluruh fakultas. Bahkan, beberapa waktu lalu terdapat pula musala yang gencar melakukan pemugaran. Lain halnya bagi agama selain Islam. Jangankan untuk pemugaran, bangunan atau ruangan yang dapat digunakan sebagai tempat beribadah saja tidak ada. Lantas, di mana letak keadilan untuk memenuhi hak beribadah di dalam kampus?

Lengkapnya bangunan tempat ibadah di lingkungan kampus bukan persoalan yang sulit untuk diwujudkan. Kampus dengan visi “Benteng Pancasila”, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) saja mempunyai enam rumah ibadah, di antaranya masjid, gereja untuk agama Protestan dan Katolik, vihara, pura, dan yang terbaru yakni kelenteng. Bukan tanpa alasan, didirikannya rumah ibadah tersebut bertujuan untuk mengedepankan keadilan beribadah di dalam kampus.

“Lagian ‘kan, umatnya sedikit.”

Demikianlah satu dari sekian banyak argumen sampah yang terlontar dari pemilik nalar pincang. Kurang tepat rasanya bila alasan “minoritas” yang kemudian dijadikan sebagai pengekangan hak pemeluk agama lainnya untuk bisa beribadah di dalam kampus. Kalaupun belum ada kesanggupan dalam membangun rumah ibadah, setidaknya kampus menyediakan ruangan khusus guna memberikan keadilan dan kesetaraan dalam menunaikan ibadahnya masing-masing.

Kampus ternama seperti Unsri yang banyak dikenal oleh masyarakat dari seluruh penjuru nusantara memang memiliki keberagaman agama, bahasa, budaya, dan etnis. Hal inilah yang kemudian menjadi landasan penting untuk didirikannya tempat ibadah secara lengkap sesuai dengan agama yang diakui oleh negara. Ditambah lagi oleh sulitnya mahasiswa pemeluk agama selain Islam untuk beribadah karena tidak adanya pura, vihara, dan kelenteng di sekitar kampus yang bisa dijadikan tempat untuk menunaikan ibadah. Sedangkan, bagi mahasiswa yang beragama Kristen haruslah menempuh jarak sekitar kurang lebih dua kilometer guna menemukan gereja. Memang letaknya tidak begitu jauh, tapi alangkah lebih baik bila rumah ibadah berada di sekitar kampus dan indekos mahasiswa agar mudah dijangkau.

Selain memudahkan dalam peningkatan spiritual, dibangunnya rumah ibadah akan semakin menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Upaya tersebut dapat mengurangi intoleransi di lingkungan kampus, yang tak lain merupakan tempatnya para kawula muda dengan segala ke-intelektual-annya. Dapat pula sebagai pemahaman lebih dalam mengenai makna dari keberagaman itu sendiri, agar semangat kebhinekaan terus dijunjung. Sehingga, seluruh civitas academica kampus secara bersama-sama dan bahu-membahu menumbuhkan keberagaman sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

Penulis : Juniancandra Adi Praha
Editor : Royan Dwi Saputra

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!