Opini

Surat Terbuka Untuk Kampus Tercinta

Awal tahun 2020, Universitas Sriwijaya (Unsri) memberikan hadiah yang ciamik untuk civitas akademikanya yakni menutup salah satu gerbang yang merupakan akses jalan paling dekat dengan tol. Lantas, apa yang menjadi permasalahannya ?

Seperti yang diketahui, bahwa Unsri memiliki 3 akses keluar masuk kampus, dengan dikurangi 1 maka sisa 2, dong. Otomatis kendaraan yang biasanya selalu lewat gerbang belakang terpaksa harus memutar jauh untuk lewat gerbang utama kampus.

“Oh, bagus dong, jadinya semua kendaraan jadi masuk lewat jalan depan.”

Nyatanya, ekspektasi tidak sesuai realita. Sebelum penutupan tersebut, simpang jalan Nusantara memang terkenal dengan kemacetannya, terutama di jam pagi (07.00 – 09.00) dimana banyak mahasiswa dan masyarakat yang beraktivitas baik itu untuk ke kampus, pergi bekerja, dan lain-lain. Belum lagi di tambah dengan berbagai jenis ukuran kendaraan, mulai dari motor, bentor, mobil, damri, bus, hingga truk yang memenuhi jalan kecil itu.

Setelah gerbang belakang ditutup, kemacetan bertambah parah. Mahasiswa atau dosen yang seharusnya bisa datang tepat waktu menjadi telat masuk kelas. Jangan sinis dulu, ini bukan masalah jam berangkatnya yang harus pagi-pagi banget ya, tapi poin utamanya adalah untuk yang berangkat dari Palembang. Kendaraan umum yang dinaiki nyatanya memang sering terjebak macet, ditambah dengan angkot yang tiba-tiba suka berhenti mendadak untuk mengangkut penumpangnya.

Kemudian, apa sih sebenarnya alasan pihak rektorat nyusahin orang memerintahkan untuk menutup gerbang belakang?

Menurut penuturan dari kepala satpam Unsri, Junaidi, perintah penutupan gerbang belakang merupakan arahan langsung dari rektor guna menciptakan ketertiban di area kampus, karena sebelumnya ditemui beberapa kejadian senggolan mobil atau motor antara kendaraan mahasiswa dan masyarakat luar. Ia pun menerangkan bahwa gerbang akan kembali dibuka pada saat wisuda, yang mana setidaknya akan dibuka 2 kali dalam semester genap ini. Ya lumayan ya, daripada tidak sama sekali.

Junaidi menambahkan, dengan dialihkannya akses keluar-masuk ke gerbang utama, penggunaan Kartu Pengenal Mahasiswa (KPM) kembali digencarkan sebagai bentuk ketertiban lainnya yang diciptakan dalam area kampus.

Jadi ceritanya satpam akan mengecek satu persatu mahasiswa atau dosen yang masuk, apakah sudah menggunakan KPM atau belum. Kalau tertangkap tidak digunakan, maka disuruh untuk mengenakan terlebih dahulu, tapi jika semua mata satpam jeli untuk mengecek semuanya ya.

Hal lain yang menjadi alasan penutupan tersebut adalah karena kurangnya Satpam yang dipekerjakan perharinya. Setidaknya kurang lebih ada 27 satpam yang bertugas, untuk tiap fakultas terdapat 2 satpam. Jadi kalau di hitung-hitung satpam yang menjaga gerbang Unsri sekitar 7 orang untuk setiap harinya.

Dengan jumlah tersebut, menurut penulis sendiri termasuk kurang untuk memaksimalkan ketertiban di Unsri baik dalam penggunaan KPM ataupun helm.

Penulis sendiri sebagai driver ojek kampus termasuk ke dalam tim kontra. Walau sebenarnya pada awal penutupan sempat sedikit pro. Tapi semua itu berubah saat penulis sudah merasakan langsung dampaknya. Sebagai contoh, orderan yang datang dari daerah Citra dan sekitarnya jadi terasa lebih jauh, karena harus memutar jalan. Belum lagi jika orderan tersebut datangnya pagi di saat jam kuliah. Jalan sudah macet, harus mutar jauh, ditambah konsumen yang bilang “cepat kak, saya sudah telat.” Bagaimana saya tidak dilema. Ditambah lagi penggunaan bensin jadi lebih banyak daripada biasanya. Rasanya uang hasil penulis ngojek pagi hanya cukup untuk beli bensin.

Sejauh yang penulis lihat, beberapa mahasiswa agaknya juga termasuk dalam tim kontra. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya banner yang terpasang di Fakultas Teknik (FT) yang berisi bahwa mahasiswa menuntut untuk kembali dibukanya gerbang belakang Unsri, dan juga mempermasalahkan tentang dibukanya gerbang tersebut pada saat acara kondangan yang berlokasi di auditorium Unsri.

Ya, mungkin mahasiswa merasa dianak-tirikan, karena kita yang sudah membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) kok bisa-bisanya kalah sama orang yang mengadakan kondangan.

Surat terbuka ini penulis buat agar setidaknya pihak rektorat kembali mempertimbangkan mengenai penutupan tersebut. Karena jujur, lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Terkhususnya dalam urusan perbensinan, penulis ingin ngojek dengan bebas, Pak.

Penulis : Anonim
Editor : Desi Rahma S

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!