EditorialOpini

Mencintai Sungai, Mencintai Kehidupan

Apabila mendengar nama Sumatera Selatan tidak bisa lepas dari keberadaan kota Palembang. Sebuah kota yang dibelah menjadi dua bagian oleh aliran sungai musi, 1 dari 9 sungai yang diujuluki Batanghari Sembilan (Sembilan sungai besar) yang melintasi dataran sumatera selatan.

Menelisik catatan sejarah, sungai selalu menjadi awal mula sebuah peradaban besar, sungai Nil yang melahirkan peradaban kuno Mesir, Sungai Eufrat dan Tigris, Sungai Gangga di India, dan sungai Musi yang menjadi sendi kehidupan masyarakat kerajaan sriwijaya yang tercatat salah satu peradaban paling besar di Nusantara.

Bukan tanpa alasan semua peradaban besar bermula dari tepi sungai. Sungai mengandung segala kebutuhan paling mendasar manusia untuk bertahan hidup. Salah satu diantara yang paling mendasar adalah air. Jumlah air di bumi sangat besar, sekurangnya 2/3 bagian di bumi adalah air, 97% sebagiannya air asin di lautan, hanya 3% air tawar dan 2/3 bagian air tawar berada di kutub dalam bentuk es, sisanya sekitar 1% air di bumi tersebar paling banyak didalam tanah, disusul oleh air yang tersebar di permukaan seperti danau dan sungai, air inilah yang biasa kita manfaatkan untuk segala macam aktifitas mencuci, memasak, dan kebutuhan minum makhluk hidup setiap hari.

Terkhusus masyarakat Sumatera Selatan, sekalipun di zaman sekarang untuk sekedar memenuhi kebutuhan air sudah sangat praktis dengan adanya pipa-pipa yang sampai kerumah dan air galon yang bisa langsung di minum, tapi hidup kita tetap tak terlepas dari keberadaan aliran sungai. Air sebagai kebutuhan dasar yang disediakan oleh pemerintah dari aliran sungai Musi yang melalui proses penjernihan sebelum sampai ke rumah-rumah. Bagaimanapun kita yang hidup di kota tidak lagi memanfaatkan sungai secara langsung tetapi fungsi sungai ada di setiap sendi kehidupan masyarakat kota.

Mungkin kita hanya tidak merasakanya, tapi dengan semua yang diberikan oleh sungai kita masih belum menempatkan sungai pada tempatnya. Saya rasa saya adalah orang ke-sekian kali yang meceritakan bagaimana manusia yang katanya berakal perlahan-lahan membunuh aliran-aliran sungai juga disaat yang bersamaan sedang membunuh dirinya sendiri. Mengutip kalimat dari Theo Martin di brainly.co.id “sungai lebih banyak menyediakan manfaat untuk manusia daripada manusia untuk sungai. Sungai sebagai penghasil ikan, sarana transportasi, pemukiman, hingga tempat rekreasi.

Kalau hanya sekedar sampah dan limbah sebetulnya sungai punya kemampuan untuk membersihkan diri dan mengembalikan keseimbangan ekosistemnya seperti semula, namun kalau kita terus menerpa sungai dengan sisa-sisa industri yang berbahaya, bukan hanya sungai itu sendiri yang tercemar tapi mengacaukan segala ekosistem di dalamnya. Ketika masa kecil saat saya tinggal di kota Jakarta sekitar tahun 2001, saya ingat masih dapat menangkap ikan mujair dan kepiting air tawar di aliran selokan, sekarang jangankan ikan mujair, ikan limbah sekelas sapu-sapu saja tidak mampu hidup di aliran sungai kota Metropolitan itu. Saya tidak ingin membayangkan hal serupa terjadi di kota Palembang, apalagi kalau untuk makan pempek dan tekwan saja harus menggunakan ikan impor sekali lagi saya dan mungkin anda juga tak rela.

Tugas manusia sebenarnya hanya menjaga kebersihan ekosistem sungai dan tidak mengambil hasil sungai (misal ikan dan lain-lain) secara berlebihan, namun seringkali hal ini sulit tercapai karena masih banyak manusia yang tidak sadar kalau sebenarnya manusialah yang membutuhkan sungai, bukan sebaliknya.

Mungkin kita harus mencontoh apa yang dilakukan oleh India dalam hal menyayangi sungai, saking mereka menganggap sakral dan menghargai keberadaan sungai Gangga, mereka memberi status layaknya manusia dan memberikan hak hukum setara manusia untuk sungai Gangga. Namun saya rasa dengan menyadari pentingnya aliran air sungai dalam kehidupan kita dan ditanamkan di masing-masing pribadi kita itu sudah cukup sebagai tanda terima kasih atas segala hal yang kita ambil dari sungai secara cuma-cuma.

Sungai layaknya orangtua yang membesarkan anaknya, dia memberikan hampir segala hal yang ia punya untuk keberlangsungan hidup anak-anak kesayanganya, namun Ia tidak meminta apapun dari manusia karena memang tidak ada yang dapat diberikan oleh manusia untuk sungai, bukan dalam bentuk sesajen atau mantra-mantra karna Ia tak membutuhkan itu. Sungai hanya meminta manusia untuk menjaga kebersihanya, menjaga ekosistemnya, dan memanfaatkanya secara wajar tak berlebihan, dan itu semua kembali lagi akan memberi manfaat bagi manusia.

Mengutip kata-kata seorang dosen dalam perkuliahan saya “pada suatu masa yang akan datang manusia tidak akan lagi berebut minyak dan emas, ada masa dimana air akan menjadi sumber konflik manusia karna ketidaktersediaanya” terdengar sedikit berlebihan namun kalau manusia dapat membuat konflik sebegitu besarnya untuk memperebutkan minyak demi minum kendaraan-kendaraan mereka, bayangkan apa yang bisa dilakukan manusia ketika memperebutkan air untuk minum perut-perut mereka?
Penulis: (kyh)

Editor: (yst)

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!