Cerpen

Percakapan di Kedai Kopi

Suasana kota hari itu sedang ramai. Di antara gedung-gedung pencakar langit yang seakan beradu tanding dengan kebisingan jalanan, orang beramai-ramai memadati trotoar dengan langkah gontainya. Hari Valentine. Semua orang tumpah ruah ke jalanan menyebarkan kasih sayang membawa segenggam coklat, pun harapan untuk hari baru mereka. Aku ingat bagaimana dengan tanganmu yang merangkul lenganku, kau asyik memutar bola matamu kesana kemari memperhatikan setiap sudut jalanan. Kau bilang ingin menikmati keramaian kota sebelum kita berdua duduk bersama dua cangkir coklat panas di hari yang begitu dingin di kedai Paman Jo, tempat kita pertama kali berjumpa—bertukar nama juga rasa.

Langkahmu tiba-tiba berhenti di depan toko kelontong, aku pun ikut berhenti. Rupanya pandanganmu beralih kepada kerumunan orang-orang di seberang jalan. Seorang paruh bayah yang duduk di antara banyak sangkar dengan burung di dalamnya, itulah yang menarik perhatian gadis sweater biru muda dengan rambut hitam panjang berkuncir kuda itu.

“Lihat itu!” katamu menunjuk ke seberang jalan, “burung itu berkicau merdu dalam sangkar. Sepertinya bahagia.”⁣

“Menurutmu begitu?” tanyaku.⁣

“Tentu saja. Lihat orang-orang yang lewat ikut bahagia mendengarnya.”⁣

Kau tampak sangat kagum dengan suara merdu itu. Aku perlahan melepaskan rangkulanmu dari lenganku, lalu berjalan beberapa langkah dan berhenti di depan jendela sebuah kedai kopi. Kau yang sadar aku menghilang dari sisimu langsung menghampiri.⁣

“Coba lihat kesana,” kataku menunjuk wanita dengan gaun merah muda sedang duduk di dalam kedai menghadap alat pemutar musik kuno yang menggunakan piringan hitam, “apa yang kau lihat?”⁣⁣

“Wanita itu sedih. Dia menangis”⁣

Aku tersenyum. Kugandeng tanganmu untuk kubawa masuk ke kedai.⁣

“Menurutmu dia sedih?” tanyaku lagi.⁣⁣

“Oh, rupanya dia merasa haru mendengar musik dalam ruangan ini.”⁣

“Jangan mudah percaya dengan apa yang ditangkap mata, sekali pun matamu sendiri. “Dunia selicik itu, kau harus pandai membaca teka-tekinya.”

“Kau memulai ceramahmu lagi,” jawabmu dengan wajah cemberut serta pipi yang menggelembung—begitu lucu.

“Kau mau tahu kenyataan yang lain di dunia ini tentang manusia?” tambahku.

Kau diam, mematung, tetapi meninggalkan segudang tanya dari balik raut wajahmu.

“Manusia itu bisa larut dalam kesedihan manusia lain, juga bisa menertawakannya pada saat bersamaan.”

Aku memandang ke arah wanita itu. Ia membalas tatapanku dan menorehkan senyum sambil melambaikan tangan. Aku pun membalas senyumnya sambil mengangguk. Kau kembali memicingkan mata padaku—tampak sinis.

“Kau tampak bahagia sekali menerima balasan senyuman darinya” tanyamu.⁣

Aku tertegun—menundukkan kepala, lalu menoleh ke arahmu sambil tersenyum kembali.⁣⁣

“Kau pikir begitu?” tanyaku .

“Tentu saja,” jawabmu cepat.

“Bahkan senyum manusia juga punya cara liciknya sendiri untuk bisa menyembunyikan sesuatu,” kataku. “Seperti ini.” Aku tersenyum dan memandangimu.

Bola matamu membulat seperti bola bolling hitam yang siap kau gelindingkan kepadaku.

Aku mengacak pelan rambutmu, meraih tanganmu untuk merangkul lenganku lagi sambil berkata, “Sudah. Ayo kita pergi minum coklat panas!”

penulis: Arya

editor: Ulfa Anisa

Sumber gambar: pinterest

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!