Opini

Pelarungan ABK Indonesia Bentuk Konkret dari Perbudakan Modern

Beberapa waktu lalu, bangsa Indonesia dikejutkan dengan kabar duka, yakni tiga jenazah Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia dibuang di tengah samudra. Sontak saja pemberitaan yang pertama kali disiarkan oleh stasiun televisi Korea Selatan, telah membuat geram dan tak sedikit yang mengutuknya. Disinyalir pula bahwa adanya tindakan perbudakan yang telah dilakukan di kapal ikan milik China tersebut.

Kasus seperti ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi, pada Desember 2019 lalu, hal serupa pernah terjadi kepada ABK yang bernama Alfatah. Saat itu, Alfatah yang tengah sakit tak sedikit pun mendapatkan pengobatan, hingga akhirnya ia meninggal dengan keadaan menderita. Senada dengan yang dialami oleh ketiga ABK baru-baru ini, jenazah Alfatah juga dibuang di tengah samudra dengan alasan agar penyakit yang diderita Alfatah tidak menular ke pekerja lainnya. Miris bukan? Melihat begitu pendeknya cara berpikir mereka dalam menangangi kasus seperti ini. Bukankah selayaknya kapal bermuatan besar sudah dilengkapi dengan fasilitas penunjang untuk meminimalisir terjadinya sesuatu yang mendesak? Terlebih lagi, kapal penangkap ikan yang berlayar menjauhi tepi daratan akan membutuhkan waktu lama untuk bersandar kembali.

Praktik perbudakan di kapal penangkap ikan juga mengingatkan kita dengan kasus Benjina. Kasus perbudakan pada masa Menteri Susi Pudjiastuti cukup menyita perhatian, lantaran melibatkan korban dari beberapa negara seperti Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia. Walaupun, memang akhirnya para pelaku pada kasus Benjina telah diadili dan dihukum serta kapalnya pun dimusnahkan. Akan tetapi, nampaknya sampai kasus ketiga ABK yang dibuang beberapa waktu lalu, tidak sedikit pun menggeretak para oknum untuk menghentikan kejamnya praktik perbudakan yang mereka lakukan demi keuntungan pribadi.

Lantas, apakah perbudakan modern masih merajalela? Mengapa begitu banyak korban yang harus terjerumus ke dalam praktik kekejaman ini? Perbudakan modern diartikan sebagai suatu kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan orang itu terampas, lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan praktik perbudakan. Orang tersebut bisa pula dipekerjakan dan dibuang begitu saja layaknya sebuah barang. Bukan tanpa sebab, praktik perbudakan modern terjadi karena sistem ekonomi yang modern pula, di mana pergerakan manusia dalam melintasi batas negara kalah cepat dengan pergerakan modal dan uang.

Menukil dari laporan The Global Slavery Index 2018, tercatat bahwa sebanyak 40,3 juta jiwa penduduk di dunia mengalami perbudakan modern di tahun 2016. Angka tersebut meningkat dari tahun 2014 yang hanya berkisar 30 juta jiwa. Korban perbudakan didominasi pula oleh kaum perempuan, yakni sebanyak 71 persen dan sisanya sebanyak 29 persen terjadi pada laki-laki. Di bidang industri perikanan, negara-negara di Asia seperti China, Japan, Korea, Taiwan, dan Thailand termasuk ke dalam kategori perbudakan modern yang berisiko tinggi. Sedangkan, Indonesia termasuk ke dalam kategori perbudakan modern dengan risiko menengah bersama beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Serta, beberapa negara dari kawasan Amerika latin yakni Meksiko, Chile, dan Peru.

Bentuk perbudakan modern berdasarkan laporan dari BBC, yakni mencakup situasi di mana ketika seseorang dipaksa bekerja tanpa dibayar untuk melunasi utang. Selain itu, muncul juga dalam bentuk penyalahgunaan anak-anak, kawin paksa, perbudakan domestik, dan kerja paksa, lengkap dengan tindakan kekerasan yang diterima oleh korban. Jelas bukan? Kalau tindakan pelarungan yang terjadi kepada tiga ABK Indonesia termasuk ke dalam perbudakan modern di laut. Mereka dan ABK lainnya dipaksa bekerja di tengah laut untuk melakukan pekerjaan yang terkadang di luar batas kemampuan seorang manusia. Apalagi, menurut salah satu pengakuan ABK yang bekerja di kapal milik China tersebut, mereka tidak punya banyak waktu untuk beristirahat setelah letihnya bekerja. Di tengah lautan lepas, mereka juga menerima tindakan diskriminasi, di mana ABK Indonesia tidak mendapatkan makanan dengan cukup gizi guna menambah energi seperti ABK non-Indonesia.

Potret ini kian membuktikan ABK Indonesia tak berdaya untuk memperjuangkan hak mereka. Bagaimana tidak? Mereka yang posisinya sedang berlayar di tengah lautan lepas tak mempunyai kekuatan untuk berbuat banyak. Guna melakukan protes saja mungkin mereka akan berpikir beribu-ribu kali terhadap konsekuensinya. Ditambah dengan banyaknya ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan milik asing seperti China telah melakukan teken kontrak.

Tentunya perbudakan modern yang dialami oleh kebanyakan ABK Indonesia di kapal asing dilandasi oleh beberapa faktor penyebab. Karena tidak akan pernah ada dan belum pernah ada sesuatu yang dialami oleh seseorang terjadi begitu saja. Dua insan yang memadu kasih dan membangun bahtera rumah tangga saja disebabkan oleh adanya rasa saling cinta. Lalu, mengapa semua ini bisa terjadi?

Pemicu klasik dari terjadinya perbudakan modern, yakni bual manis makelar maupun agen yang merekrut para ABK. Tak sedikit ABK yang tertipu dengan berbagai janji dan iming-iming yang merugikan individu dan keluarganya. ABK yang rentan terjerumus ke dalam praktik ini ialah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga mereka tak punya banyak alasan dan pilihan untuk mendapatkan nafkah guna menghidupi dirinya maupun keluarga. Terlebih, mereka para ABK laki-laki yang kebanyakan menjadi tulang punggung keluarga. Keputusan menerima pekerjaan dengan bualan janji pun bukan karena mereka bodoh, tapi kondisi ekonomi yang terus menerus menghimpit dan membuat situasi semakin tidak seimbang.

Kurangnya kesempatan kerja lokal yang dibarengi dengan ledakan populasi penduduk dalam mencari kerja, turut menjadi pemicu lain dari maraknya perbudakan modern. Suplai tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan ketersedian lapangan pekerjaan mengharuskan setiap orang saling berlomba untuk memperoleh pekerjaan. Tak ayal bila sering kita menemukan para pekerja melakoni berbagai jenis pekerjaan sampai dengan kondisi terburuk sekalipun. Tidak adanya keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja menyebabkan upah semakin rendah. Hal inilah yang kerap kali kita jumpai bahwa banyaknya pekerja dibayar tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Seperti pengakuan salah satu ABK yang digaji hanya sebesar 1,7 juta rupiah selama tiga belas bulan bekerja.

Tak adanya kedaulatan dan kurang seriusnya dukungan pemerintah, ikut pula memicu rentannya ABK Indonesia terjerat pada praktik perbudakan modern. Seyogyanya, negara mempunyai tujuan yang termaktub pada alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum …”. Jelas dari tujuan tersebut, negara melalui pemerintah Indonesia harus tegas dan melakukan segala upaya untuk menjamin hak asasi manusia warga negaranya. Karena persoalan yang menimpa ketiga ABK beberapa waktu lalu, bukan hanya menyangkut nyawa rakyat Indonesia, melainkan juga menyangkut harga diri dan martabat negara Indonesia beserta seluruh warganya.

Namun, tak adil bila hanya menuntut negara sendiri dalam kasus ini, China juga punya tugas besar untuk membantu Indonesia memberantas praktik perbudakan yang menimpa ketiga ABK Indonesia. Karena ulah warga negaranya-lah yang begitu ambisi ingin merogoh keuntungan besar, telah merugikan banyak ABK Indonesia dan pastinya membawa duka bagi bangsa Indonesia. Pun, saya rasa tak perlu takut dan tak ada salahnya bagi kita negara Indonesia, untuk mendesak China mengusut tuntas kasus ini, dan membawanya ke Mahkamah Internasional PBB demi terbebasnya dunia dari praktik perbudakan modern. Toh, China dan Indonesia sama-sama berstatus negara, kok.

Penulis : Juniancandra Adi Praha
Editor : Royan Dwi Saputra

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!