Opini

Memulai Langkah Bijak Bersama Jurnalisme Inklusif

Jurnalisme adalah kegiatan menyiapkan, mengedit dan menulis untuk surat kabar, majalah, atau berkala lainnya (Assegaff, 1983:9). Dengan kata lain, jurnalisme adalah keseluruhan proses pembuatan berita yang fokus pada kegiatan peliputannya. Sementara itu, inklusif adalah sikap atau pandangan akan kesetaraan terhadap kelompok-kelompok rentan seperti seperti difabel, perempuan, dan anak-anak. Maksud rentan dalam artian penempatan posisi kelompok tersebut cenderung sebagai kelompok yang terpinggirkan.

Jurnalisme inklusif menempatkan kelompok rentan setara, sebagaimana berita tersebut tidak kurang atau lebih. Dalam jurnalisme inklusif, isu kelompok rentan diangkat sebijak mungkin dan tidak memojokkan kelompok tertentu sebagai kelompok lemah yang terasingkan. Jurnalisme inklusif adalah jenis berita yang memberikan pandangan baru (give me perspective), yaitu berita lengkap, mendalam, dan memberikan pandangan serta pemahaman kepada pembacanya.

Rupar (2017) mendefinisikan jurnalisme inklusif sebagai seperangkat wacana normatif, kebijakan redaksi, dan praktik liputan yang telah berkembang untuk memberikan keragaman suara dalam media. Penulis sependapat bahwa jurnalisme inklusif adalah bagian dari keberagaman suara dalam media. Namun, lebih dari itu, jurnalisme inklusif adalah dorongan untuk membentuk masyarakat yang bijak dan cerdas. Jurnalisme inklusif memuat liputan berita yang tidak mengandung stigma serta prasangka negatif atas pihak yang terlibat dalam berita. Hal tersebut biasa terwujud dalam pemilihan bahasa dan diksi yang kurang tepat, serta pemuatan foto atau video yang tidak pantas.

Pada September 2021, UNESCO Jakarta bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil menyusun modul yang berjudul “Jurnalisme Inklusif: Liputan Tentang Perempuan, Anak, dan Difabel Selama Pandemi”. Kehadiran jurnalisme inklusif membantu mengeluarkan kelompok rentan dalam pandangan buruk atau semacamnya. Modul tersebut menjelaskan bahwa kelompok rentan cenderung disorot sebagai objek selama masa pandemi, contohnya saja banyak pemberitaan mengenai peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan selama pandemi.

Selain itu, banyak ditemukan pada media yang dengan sengaja mengangkat isu mememilukan tentang kisah kehidupan seseorang. Kisah tersebut sengaja dibumbui dengan tangis pilu dan kesengsaraan yang kemudian menarik simpati masyarakat untuk menonton. Padahal, upaya pemberitaan tersebut sebagai bagian dari upaya pembentukan stereotip negatif di tengah masyarakat. Contoh lain berupa pemberitaan mengenai perempuan sebagai korban kekerasan seksual dengan menjadikannya sebagai objek dalam berita dan digambarkan sebagai kaum lemah yang teraniaya.

Ketika membaca berita tersebut, kita akan merasa prihatin akan musibah yang menimpa korban yang dalam hal ini adalah perempuan. Namun, banyak di antara kita juga justru bertindak sebaliknya—menyalahkan korban dengan anggapan karena perilaku, pakaian, atau lainnya. Penulis merasa bahwa betapa menyedihkan media sebagai sarana pendidikan dan khalayak sebagai pembaca yang seharusnya lebih bijak dalam menalar kejanggalan setiap kata dalam berita.

Tidak hanya mengenai perempuan, anak-anak yang biasanya menjadi sasaran korban kekerasan rumah tangga pun kerap kali diberitakan sebagai objek semata. Media seolah menutup mata untuk melihat dan memahami dari perspektif anak. Begitu juga dengan isu disabilitas yang jarang sekali diberitakan, padahal sangat penting untuk mengangkat semangat serta perjuangan dari kelompok tersebut. Kisah perjuangan, kemandirian, dan semangat untuk terus bergerak adalah sisi baik yang dapat menciptakan dampak positif bagi khalayak.

Maraknya kehadiran portal berita online yang menyajikan beragam berita membuat kekhawatiran untuk masyarakat. Apakah berita yang disajikan dapat bermanfaat dan berdampak positif bagi pembaca dengan tidak hanya mendapatkan informasi saja, tetapi juga mencerdaskan pembaca dalam berpikir dan bertindak?

Berita yang tidak menyajikan sanjungan berlebihan, tidak mengekspos kisah derita perempuan, tidak menyederhanakan beban tugas, tidak memakai istilah halus yang mengaburkan perbuatan buruk, tidak menyudutkan, serta tidak menggunakan atribut foto bernuansa cabul merupakan bagian dari peliputan berita inklusif. Adapun panduan peliputan anak yang sesuai konvensi hak anak seperti nondiskriminasi, pengambilan keputusan yang terbaik untuk anak. Dengan kata lain, mempertimbangkan apa yang terbaik untuk kelangsungan dan perkembangan anak serta adanya upaya penghargaan terhadap pandangan yang diberikan oleh anak.

Penilaian terhadap berita sangat penting bagi pembaca. Hal ini bertujuan untuk melihat kualitas yang diberikan media kepada konsumennya. Penulis berharap bahwa pembaca dapat menyaring, memahami, membedakan setiap berita yang diterima sehingga tidak serta merta mengikuti penilaian dan stigma yang diarahkan dalam berita tersebut. Sebagai mahasiswa, teramat penting untuk meresapi terpaan arus infomasi secara kritis dan bijak. Dengan demikian, masyarakat dapat hidup dalam pandangan akan kesetaraan makhluk sosial yang lebih harmonis pada setiap perbedaan.

Penulis : Pelia Ataza

Editor : I Gusti Putu Arya T.P.

Gambar: Pinterest

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!