Uncategorized

Berkaca pada Gerakan yang Usai untuk Memperkecil Peluang Sia-sia

Pandemi Covid-19 di Indonesia mulai terasa pada akhir tahun 2019, di mana sistem pembelajaran dialihkan menjadi dalam jaringan. Akhir tahun itu adalah awal terciptanya perubahan di dunia pendidikan. Semua pihak dipaksa melek teknologi.

Tidak hanya itu saja, sulitnya keadaan ekonomi orang tua juga menjadi masalah serius di awal tahun 2020. Alih-alih mengurangi pengeluaran dengan sistem pendidikan jarak jauh, hal itu justru menjadi kebalikannya. Sistem pendidikan jarak jauh yang memerlukan kuota internet menjadi kendala cukup serius. Namun, kendala serius ini dapat diatasi dengan adanya bantuan kuota internet dari pemerintah. Dalam hal, ini pemerintah yang tanggap patut diberi apresiasi. Bahkan, pemerintah kembali memberikan keringanan berupa penurunan biaya Uang Kuliah Tunggal  (UKT) pada Juni 2020 lalu. Walaupun dana yang diberikan sedikit terlambat dari tanggal tetap pembayaran UKT namun, usaha pemerintah sudah cukup meringankan beban masyarakat.

Bantuan ini tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga pemerintah daerah. Sekali lagi, bantuan ini tidak merata. Ada beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang ingin mengajukan bantuan tersebut. Banyak diantaranya terkendala dalam pemberkasan. Akibatnya, masalah tersebut menimbulkan keresahan. Pada Juli 2020, muncul gerakan BOIKOT UKT oleh mahasiswa Unsri, sebagai aksi solidaritas terhadap mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.

Aksi tersebut sepertinya tidak didengarkan oleh pimpinan Unsri. Bisa dilihat dari tidak adanya waktu perpanjangan pembayaran UKT bagi mahasiswa. Peristiwa ini pada akhirnya menimbulkan kekecewaan di kalangan mahasiswa. Aksi yang dilakukan tentu tidak merata sebab mata kuliah menjadi target tersendiri bagi mahasiswa untuk merancang alur perkuliahan mereka. Di sisi lain, mahasiswa yang bebas UKT akan aman dan gerak cepat dalam pengisian KRS. Itulah mengapa gerakan BOIKOT UKT ini dirasa kurang tepat khususnya bagi mahasiswa di luar golongan bebas UKT.

Kembali ke tahun ini, mulai Juli 2021 hingga awal Agustus, gaungan aksi kembali datang dari mahasiswa Unsri. Sama seperti sebelumnya, tetapi redaksinya berbeda, yakni PENUNDAAN UKT. Hal yang perlu dipertanyakan adalah, apakah kita tidak bisa belajar dari gerakan sebelumnya?

Kali ini, apakah pimpinan Unsri akan mendengar? Jika sama seperti sebelumnya, bukankah gerakan seperti ini sia-sia?

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jika gerakan ini tidak dilakukan secara merata. Bagaimana mungkin ada yang namanya penundaan UKT, UKT ditunda maka kuliah terkendala, ya kan?

Banyak yang tidak peduli dengan gerakan solidaritas semacam ini. Sejauh ini pun pasti sudah banyak mahasiswa yang sudah membayar UKT. Di sisi lain, sudah ada surat edaran dari pimpinan rektorat bahwa UKT semester 9 yang mengambil MK sebanyak 6 SKS hanya membayar 50%. Bagi yang terkendala dalam pembayaran UKT bisa mengajukan penurunan.

Rasa-rasanya akan lebih bermanfaat jika aksi yang dilakukan berbicara tentang masalah urgensi penurunan UKT. Bahkan, lebih masuk akal jika biaya UKT mahasiswa baru (maba) yang disuarakan karena yang saya dengar UKT maba ada kenaikan yang sebelumnya signifikan seperti contoh kasus yang saya temukan: Ada seorang maba yang awalnya ditetapkan UKT sebesar 3 juta tiba-tiba pada waktu pembayaran naik menjadi 6 juta. Masih ada banyak lagi seruan aksi yang lebih bijak untuk dilakukan seperti pengajuan tuntutan atas kurangnya respon dari pihak jurusan terkait penurunan UKT.

Sebanarnya polemik semacam ini dapat reda apabila pihak rektorat mau mendengarkan keluh kesah mahasiswa. Di sisi lain kampus juga perlu berbenah dan butuh dana untuk membayar pegawainya. Selain itu tindakan Unsri yang tergesa-gesa membuat mahasiswa kecewa. Tergesa-gesa dalam hal ini seperti pendataan mahasiswa tingkat akhir yang hanya diberi waktu sangat singkat yakni 1 x 24 jam saja. Tenggat waktu pembayaran UKT lebih kurang hanya 11 hari dengan tanpa kejelasan waktu perpanjangan. Di samping itu, kurangnya dukungan dari pihak jurusan menjadi kendala terbesar bagi mahasiswa saat ini.

Apabila kedua pihak dapat berkerja sama dengan mengeluarkan pendapat serta solusi masing-masing, mungkin persoalan ini akan menjadi lebih terarah. Hal ini ditujukan agar semua elemen mahasiswa dapat merasakan dampaknya dan tidak ada pihak yang merasa terasingkan. Sebab, persoalan semacam ini kerap kali mengundang oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan keadaan. Mereka mencuri kesempatan di dalam kesempitan sehingga kebijakan semacam ini sering kali salah sasaran.

Begitulah kira-kira, sedikit kritik dan saran dari saya. Setiap tindakan ada win-win solution. Jika pembayaran UKT ditunda, sedangkan perkulihan tetap berlanjut, maka bukan solusi yang akan kita dapatkan, tetapi masalah baru.

Penulis : FTW

Editor : ELA

Sumber gambar : Aliansi Reformasi Sriwijaya

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Close
error: Content is protected !!