Artikel

Perbudakan Zaman Old Vs Zaman Now

Mungkin banyak yang belum mengetahui, bahwa tanggal 23 Agustus ditetapkan sebagai hari internasional untuk mengenang perdagangan budak dan penghapusannya.

Indonesia sendiri memiliki sejarah perbudakan yang panjang dan kelam. Tempo dulu, perbudakan di Indonesia dapat berbentuk Gundik, yakni budak nafsu bagi para petinggi Belanda. Awal saya mengetahui istilah gundik ini adalah saat saya membaca sebuah novel karangan Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel tersebut, ada tokoh seorang Gundik cerdas bernama Nyai Ontosoroh. Jenis budak yang lain ialah perdagangan manusia era Belanda, dan pekerja paksa pada masa penjajahan Jepang dan Belanda.

Seiring berjalannya waktu, berbagai negara di dunia mulai menghapus sistem perbudakan. Di bawah lembaga PBB, negara-negara juga mulai meratifikasi Konvensi Perbudakan 1926 sebagai salah satu komitmen melawan tindakan perbudakan dan menghapusnya dalam tatanan kehidupan sosial.

Namun, realita yang terjadi adalah “perbudakan” masih tetap eksis di berbagai negara, bahkan di abad ke-21 ini.

Lantas, bagaimana tipe perbudakan “zaman now” ini?

Perbudakan dewasa ini bisa berupa pernikahan paksa, buruh paksa termasuk pada anak-anak, eksploitasi seksual hingga tentara anak. Sebagian besar budak modern terdapat di India, Cina, Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pada 2013, masyarakat Indonesia geger lantaran ada praktik perbudakan terhadap 25 buruh di Tangerang. Mereka bekerja dari subuh hingga tengah malam tanpa diizinkan beristirahat, bahkan makan pun mereka dijatah sangat sedikit. Selama tiga bulan bahkan mereka tidur di ruangan yang sangat sempit dan tidak mandi. Polisi akhirnya berhasil mengeluarkan 25 orang ini dengan kondisi yang mengenaskan.

Lalu, dengan ditutupnya pabrik kuali tersebut, apakah kasus perbudakan di Indonesia dapat dikatakan berakhir? Jawabannya adalah tidak. Karena dua tahun kemudian, praktik perbudakan kembali terjadi di Indonesia. Pada 2015, sebuah kasus perbudakan terjadi di Maluku. Korbannya adalah orang-orang dari Myanmar yang dipaksa melakuan illegal fishing. Mereka disuruh bekerja lebih dari 20 jam sehari dan tidak diberi makan dan tempat istirahat yang layak.

Selain itu, 3 tahun silam, sebanyak 468 orang terindikasi menjadi korban perdagangan manusia, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu wilayah yang banyak kasus perdagangan manusia di Indonesia. Pada 2015 jumlahnya memang menurun dari tahun 2014 yang mencapai 605 orang, menurut laporan Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC). Menurut data tersebut, Indonesia memang menjadi salah satu sumber perdagangan manusia untuk dijadikan pekerja paksa.

Sebenarnya, banyak pula jenis perbudakan yang tak terlihat, seperti perbudakan yang berkedok TKI. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika banyak dari TKI atau tenaga kerja Indonesia yang akhirnya menjadi budak di dalam atau luar negeri. Mereka dipaksa bekerja sepanjang hari namun tidak mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Di luar negeri pun mereka juga kerap mendapatkan perlakukan tak menyenangkan dari orang yang disebut sebagai majikan.

Pada momen yang tepat ini, sudah seharusnya segala jenis perbudakan di Indonesia maupun dunia ini dihapuskan. Perbudakan “zaman now” dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kemiskinan, kemiskinan membuat setiap orang melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan, bahkan jika menjadi budak sekalipun. Maka dari itu, alangkah bagusnya jika pemerintah menyediakan wadah dan lowongan kerja bagi masyarakat, agar perbudakan “zaman now” ini dapat teratasi.

Penulis: Dinar Wahyuni
Editor : (num)

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!