Opini

11 Bulan Mengendus Keadilan

Katanya lama-kelamaan bangkai akan semakin tercium busuknya, tetapi bagaimana mungkin jika hidung telah kehilangan indra penciumannya?

Hanya jika loh ya, tak usah terlalu serius mengartikannya. Meski bentuk hidung saya terbilang minimalis, setidaknya masih berfungsi dengan baik. Saya mampu mencium aroma pindang patin buatan bu Romlah, ibu Kantin langganan saya.

Beberapa saat kemudian sepiring nasi dan semangkok pindang telah habis saya santap dan segelas es teh telah tandas. Menyisakan sedikit gula yang tidak ikut larut bersama dengan beberapa bongkahan kecil es batu.

Saya mengaduk-aduknya menggunakan sedotan, tiba-tiba pertanyaan terlintas di pikiran saya, “Mengapa air yang mengeras disebut es batu? Kenapa tidak disebut air keras?.”

Pikiran saya sudah terlalu lama tidak diasah. Saya memilih untuk bertanya kepada si mbah yang serba tahu karena mbah tidak suka tempe. “Halo mbah, es batu adalah?.” Berkat teknologi yang semakin canggih saya bisa bertanya dengan si mbah kapan saja, di mana saja, dan dengan pertanyaan apa saja.

Mbah menjawab yang pada intinya es batu adalah air yang mengeras karena dimasukkan kedalam lemari ajaib bernama kulkas. Sejarah menyebutkan seorang fisikawan Amerika bernama John Gorrie membuat kulkas pada tahun 1844, dan diklaim sebagai pembuat es batu pertama.

Mengenai mengapa disebut es batu, mbah tidak memberikan jawaban yang pasti. Dan penamaan air keras sudah diberikan kepada larutan asam kuat yang sangat berbahaya, jika mengenai kulit manusia akan menyebabkan luka bakar.

Bicara tentang air keras, saya teringat pada kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Ia korban penyiraman air keras oleh orang tidak dikenal. Sesuai menjalankan salat subuh di masjid dekat kediamannya, 11 April 2017, terhitung 11 bulan yang lalu.

Bayangkan sudah 11 bulan, namun hingga saat ini belum ada kepastian. Tidak ada kartu kuning, ataupun kartu merah yang mempermasalahkan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat jelas di depan mata tersebut. 335 hari telah terlewati, belum ada titik terang mengenai siapa, mengapa dan apa alasan dibalik penyerangan tersebut.

Dilansir melalui TEMPO.CO polisi telah merilis 4 sketsa wajah orang yang dicurigai sebagai pelaku. Terdapat 1.058 laporan warga mengenai orang yang mirip dengan sketsa yang dicurigai, namun belum ada satupun tersangka yang berhasil diidentifikasi.

22 Februari 2018, Novel Baswedan kembali ke Indonesia setelah melakukan pengobatan dan perawatan di Singapura. Meskipun dengan kondisi yang belum sepenuhnya pulih, mata bagian kiri belum bisa melihat dan masih harus melaksanakan proses pengobatan tahap selanjutnya.

Desakan datang kepada presiden Jokowi untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait pengusutan kasus yang menyerang Novel Baswedan. Presiden menyatakan masih menunggu hasil penyelidikan Polri, jika belum mencapai titik terang maka presiden menegaskan akan mengambil langkah selanjutnya.

Semangat kepada Polri, semoga bisa segera menyelesaikan penyelidikan agar mahasiswa tak perlu turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan.

11 bulan berlalu, apakabar pelaku?

Masih diselimuti rasa takut, atau malah bernafas lega karena terbukti selama 11 bulan bangkai kejahatan mereka belum juga terendus. Sepatutnya mereka tidak boleh diberi kesempatan untuk sekedar menelan sebutir nasi dengan tenang.

Kasus ini harus terus diangkat dan menjadi perhatian setiap lapisan masyakat. Hingga perkara ini selesai diusut, dan keadilan tidak lagi dipandang sebelah mata.

Es batu di dalam cangkir telah mencair, saya menyeruputnya hingga tetes terakhir. Lalu beranjak kembali pada realita menjadi seorang mahasiswa seutuhnya.

Penulis : Safina Riski
Editor : Nurma Afrinda Prandansari

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!