Artikel

Pembunuhan Udin, Utang Penegak Hukum yang Belum Lunas

Malam itu, 13 Agustus 1996, dua orang tamu tak dikenal menyambangi rumah Udin. Wartawan surat kabar Harian Bernas Yogyakarta itu tengah tertidur saat itu. Marsiyem, istrinya membukakan pintu, mendapati dua orang berbadan tegap yang membawa batang besi. Bergegas ia membangunkan sang suami untuk menyambut tamu tersebut. Udin keluar rumah, tak nyana, beberapa jenak kemudian lelaki itu telah terkapar dengan darah yang mengucur dari hidung dan kepalanya. Udin dilarikan ke rumah sakit. Sayang seribu sayang, nyawanya melayang setelah tiga hari jalani masa kritis akibat gegar otak yang ia alami. 17 Agustus 1996, tepat pada peringatan HUT RI ke-51, Udin dimakamkan di tempat pemakaman umum Trirenggo Bantul.

Pada bulan-bulan sebelum kematiannya, pria bernama lengkap Fuad Muhammad Syarifuddin itu merilis tulisan-tulisan yang mengkritisi korupsi di Kabupaten Bantul, sebut saja berita berjudul “Di Desa Karang tengah, Imogiri, Bantul: Dana IDT hanya Diberikan Separo” yang dimuat di Harian Bernas Edisi 26 Juli 1996. Juga tulisan mengenai pembayaran uang sebesar 1 miliar yang diberikan Sri Roso Sudarmo (bupati Bantul kala itu) kepada yayasan Dharmais milik Soeharto agar bisa dipilih kembali menjadi bupati pada periode berikutnya. Banyak kejanggalan yang terjadi setelah tulisan-tulisan tersebut terbit. Hingga puncaknya, tragedi penganiayaan itu terjadi, kebenaran yang ia kuak berbuah pahit.

Ketidakadilan yang ia hadapi tak cukup sampai ia wafat. Alih-alih menelisik kasus ini sebagai penganiyaan karena tulisan kritis yang ia bikin, polisi justru mencari kambing hitam.

Ialah Dwi Sumaji alias Iwik. Seorang sopir perusahaan iklan yang dijadikan polisi sebagai kambing hitam pembunuhan Udin. Di pengadilan tahun 1997, Iwik mengatakan bahwa ia dipaksa polisi untuk mengaku sebagai pembunuh Udin. Ia dicekoki miras berbotol-botol, ditawari uang, pekerjaan dan pelacur. Iwik akhirnya divonis bebas setelah terbukti tak bersalah. Ada pula Tri Sumaryani, perempuan yang mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan jika mau membuat pengakuan bahwa ia telah melakukan hubungan gelap dengan Udin, dan perselingkuhan tesebut menjadikan suaminya membunuh Udin.

Tak hanya itu, upaya pemburaman fakta kasus ini juga dilakukan dengan menghilangkan barang bukti. Kanit Reserse Umum Polres Bantul kala itu, Edi Wuryanto bersama 2 orang dari Polres Bantul mendatangi kediamana orang tua Udin, meminjam sisa darah Udin yang tidak ikut dikubur bersama jasadnya (yang dapat digunakan sebagai barang bukti), dan menghanyutkannya ke laut Selatan dengan alasan untuk membuang sial, begitu pun dengan buku catatan Udin yang tak jelas keberadaannya setelah diambil.

Sudah genap 24 tahun sejak peristiwa nahas itu terjadi. Tetapi, hingga kini, kasus tersebut masih menyisakan banyak teka-teki, dalang dari pembunuhan ini belum ditangkap, atau mungkin hanya akan tenggelam dan kedaluwarsa? Meskipun begitu, banyak pihak yang terus menanti dan menagih kasus ini, kasus yang masih menjadi utang para penegak hukum.

Penulis: Dinar Wahyuni

Editor: Desi Rahma Sari

Facebook Comments

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!